Archive for May 2016
ELEGI
Jika muara adalah pelabuhan air
Maka aku adalah kerikil di sungai.
Terkikis secara halus bagai pualam mentah.
Maka aku adalah kerikil di sungai.
Terkikis secara halus bagai pualam mentah.
Jalan pencinta adalah merana
Tidak elok jika tak di warnai amarah.
Balutan gulana menggantung lesu di balik serban.
Lalu kenapa banyak yang mencarinya?
Tidak elok jika tak di warnai amarah.
Balutan gulana menggantung lesu di balik serban.
Lalu kenapa banyak yang mencarinya?
Sekonyong-konyong datang serombongan Rindu.
Menghajar habis-habisan carikan memori.
Obat apa lagi selain jamuan sua?
Padahal bekasnya mulai bernanah.
Menghajar habis-habisan carikan memori.
Obat apa lagi selain jamuan sua?
Padahal bekasnya mulai bernanah.
Tetapi, entahlah, tak acuh saja.
Jejaknya dahulu ada disini mulai berpendar.
Apa pantas setersiksa ini?
Jejaknya dahulu ada disini mulai berpendar.
Apa pantas setersiksa ini?
Dea Yusuf
Sumber jaya, 14 Mei 2016
TERSENYUMLAH
Lihat bulan malam ini
Hampir sempurna,
Malam di sini amat dingin,
Hanya terdengar jangkrik bersautan.
Selagi kamu melihat bulan,
Aku mencuri pandang,
Warna matamu, hitam kecoklatan.
Agak kabur memang, tapi aku yakin bukan hijau kebiruan
Seperti itu, kamu masih bisu, sedari tadi
Aku bicara panjang lebar,
Tapi kamu seperti pendengar setia yang pikirannya melayang
pergi
Tertiup angin
Pandanganmu kosong
Matamu menyipit
Seperti menahan berton-ton air mata yang ingin keluar
Aku mengerti
Bahuku akan selalu ada untukmu
Akan selalu menjadi tempat ternyamanmu
Menangisi dia yang berulang kali menjatuhkan janjinya
Aku akan selalu ada di sini
Mengusap gelontoran air matamu
Mendengarkanmu
Menyemangatimu
Hembusan karbondioksida mu mulai tak beraturan
Bendungan matamu tak bisa menahannya lagi
Membasahi bajuku
Di bagian bahu..
Semakin deras
Kemudian terisak
Kamu menangis lagi.
Aku mohon, tersenyumlah, aku tak tahan melihatnya.
Dea Yusuf
Sumberjaya, 13 May 2016
CUKUP KAMU DISITU
Maaf
aku tak sengaja merindukanmu
Senandung
lagu itu yang mengingatkannya
Mengalun,
terputar begitu saja pada playlistku.
Ingat
pertemuan pertama kita?
Hanya
itu memori yang tidak bisa aku lupakan
Serapat
mungkin aku menutupnya agar kamu tidak tahu.
Padahal,
dada ini masih bergetar bila melihatmu
Hanya
saja aku mengabaikannya, agar tidak terlalu tumbuh subur
Sampai
malam ini,
Aku
ingin bertemu kamu
Rasanya
berbicara denganmu adalah obat penatku
Kemudian
kesempatan bertemu itu pun datang
Aku
berusaha mati-matian agar tak tertarik
Meyakinkan
diriku, ini hanya pertemuan biasa
Tapi,
apa daya, melihat sosokmu saja cukup membuat aku terpukau
Dan
itu cukup membuatku tak bisa tidur semalaman
Tapi
Aku
takut,
Takut
jatuh kembali,
Aku
capek jika harus menyusun kembali pecahan-pecahan hati ini.
Sudah
hampir patah, bahkan bagian sisi hilang entah kemana.
Meski
aku tahu,
Aku
bukanlah seseorang yang kamu inginkan dalam hidupmu
Aku
jauh dari itu,
Cukup
kamu disitu,
Membiarkan
aku mengagumi kamu
Membiarkan
aku terpesona dengan senyummu
Aku
sudah bahagia dengan itu.
Meskipun
aku perlahan hampir sekarat menahan rindu ini.
Dan
tolong jangan bersimpati,
Karena
aku takut ini akan sia-sia jika itu terjadi.
Dea
Yusuf
Sumberjaya,
2 May 2016
SEBAIT PUISI
Bertemu
sekali saja,
Itu
sudah cukup untukku.
Bertatap
muka sekejap saja,
Itu
akan membuatku mengerti.
Tak
berlu berbicara,
Hanya
goresan lengkung di bibirmu,
Sudah
cukup berarti, berarti sekali
Kamu
adalah sebuah keindahan.
Sebuah
sajak yang sulit kutulis
Sebuah
karya yang tak terlukis.
Aku
mengerti jika kemudian kamu pergi.
Tanpa
menoleh lagi.
Meski
aku tahu terkadang kamu melirik.
Memastikan
aku baik-baik saja.
Memastikan
hatimu tak terkilir lagi.
Mencinta
seperih ini,
Merindu
sekeras ini,
Kita
hanya terpisah oleh sebait puisi
Yang
sajaknya canggung untuk disuarakan.
Sehingga
tak pernah selesai diciptakan.
Dea Yusuf,
Sumberjaya, 2 May 2016
SAMPAI KAPAN?
Hujan
di sore hari..
Selalu
saja menyisakan memori
Entah
perasaaan bahagia, sedih, ataupun luka
Ketahuilah,
Hujan tidak pernah mengeluh meski ia berkali-kali jatuh
Ia
rela melakukannya untuk memberikan cintanya pada Bumi.
Mengairi sawah,
memberi minum para ternak, menyuburkan tanaman, memberi habitat kehidupan pada
makhluk air,
Indah sekali bukan?
Lalu kemudian dari
cinta sang hujan,
Bumi memberikan bunga-bunga
indah dari tanahnya,
seolah balasan dari
cinta sang hujan, “ini untukmu”
Lalu Kamu?
Cinta seperti apa
yang kamu punya?
Berharap orang yang
kamu cintai membalas cintamu.
Kalau dia merasakan
hal yang sama mungkin itu tak jadi masalah.
Jikalau dia merasakan
sebaliknya, lalu kamu mau apa?
Mencintai juga
berarti mengambil resiko untuk tak dicintai.
Cinta tak bisa
dipaksakan!
Dia memiih bukan
dipilih.
Memaksakan sama saja
melihat diri sendiri hancur berkeping-keping.
Dan seterusnya, kamu
berharap, berharap, dan berharap.
Berusaha menembus
hatinya yang sekeras baja agar berlubang.
Sampai kapan!?
Sampai matamu lelah
mengeja barisan keangkuhan hatinya dan bergelut dengan kesabaranmu sendiri?
Mungkin jika itu batu
bisa kau lubangi dengan tetesan air,
Walaupun memakan
waktu ratusan tahun.
Tapi, jika itu baja!?
Ia hanya akan
berkarat lalu rusak tak berguna lagi.
Hakikat mencintai
adalah memberi tanpa pamrih, tanpa alasan, tanpa ingin dibalas.
Kamu sama saja egois,
jika mengharapkan orang yang tidak mencintaimu melakukan hal yang sama
kepadamu.
Lihat, kan, hujan
sore tadi?
Dia tidak meminta
balasan apa-apa.
Tapi kemudian sang
bunga yang kau tanam beberapa bulan lalu memekarkan bunganya.
Cinta itu memberi
tanpa berpamrih.
Cintailah seseorang
yang menginginkanmu,
Yang berharap bisa
menjalani sisa hidupnya bersamamu,
Yang mau membantu
mewujudkan cita-citamu,
Yang berbicara
denganmu setelah pertengkaran,
Yang mampu merubah
mood jelekmu setelah kamu memiliki hari yang buruk
Yang meluangkan waktu
sibuknya hanya untuk berkabar denganmu.
Lalu tertawa pada
leluconmu yang sama sekali tak lucu, karena dia bahagia hanya dengan
mendengarmu berbicara
Cinta
itu saling menghargai dan saling ingin memiliki.
Dan
aku, cukup bahagia dengan mencintaimu.
Dea
yusuf,
Sumberjaya,
25 April 2016